1.
Realitas
Sosial Dan Fenomena Realitas Sosial
Dalam penjelasan Ontologi paradigma konstruktivis,
realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun
demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai
konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat, 1999: 39).
Walaupun Ritzer mengatakan bahwa pandangan yang menempatkan individu adalah
manusia bebas dalam hubungan antara individu dalam masyarakat merupakan
pandangan beraliran liberal ekstrem, pengaruh aliran ini telah menyebar luas
dalam paradigma defenisi sosial.
Dalam pandangan paradigma defenisi sosial, realita
merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial
terhadap dunia sosial dikelilingnya, realitas sosial itu “ada” dilihat dari
subjektivitas “ada” itu sendiri dan dunia objektif di sekililing realita sosial
itu. Max Weber melihat realita sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki
makna subjektif. Oleh karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi.
Perilaku sosial itu menjadi “sosial” apabila yang
dimaksud subjektif dari perilaku sosial itu membuat individu mengarahkan dan
memperhitungkan kelakuan orang lain serta sosial mengarahkannya kepada
subjektif itu. Berger dan Luckman mengatakan bahwa realitas terdiri dari tiga
macam; yaitu realitas subjektif, realitas objektif, dan realitas simbolik.
Konsep realitas sosial di atas dibantah oleh
pandangan teori konflik. Sebagaimana pemahaman Karl Marx mengenai kehidupan
sosial budaya ditentukan dari pertentangan dari antara dua kelas yang terlibat
dalam proses produksi, yaitu kaum industriawan yang mengontrol alat-alat
produksi dan kaum ploretariat yang diandaikan hanya berhak melahirkan keturunan
(Veeger, 1993: 210).
Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri
sendiri tanpa kehadiran individu baik didalam maupun diluar realitas tersebut.
Realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup
dan berkembang dimasyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana public,
sebagai hasil dan kontruksi sosial.
Gagasan kontruksi sosial selalu dikoreksi oleh
gagasan dekontruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana dan
pengetahuan masyarakat. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan
antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran (interpretation) atas
realitas sosial (Nugroho.1999:123, Gergen, 1999:27).
Walaupun sebenarnya masyarakat sendiri telah mengontruksi
pengetahuan mereka, tuga sutama ilmuwan sosial adalah untuk mengontruksi
pengetahuan masyarakat tersebut agar secara sistematikdipahami oleh masyarakat itu
sendiri. Ketika proses ini berlangsung, ilmuwan sosial tidak saja mengontruksi
pengetahuan itu, namun ia juga terlibat didalam proses dekontruksi terhadap
pengetahuan itu.
2.
Teori
Sosial Mikro
Penggolongan teori-teori sosial yang banyak dipakai
orang saat ini adalah yang memasukkannya ke dalam paradigma. Salah satu
penggolongan itu adalah yang diusulkan oleh Ritzer (a.l. 1988: 392-393), yaitu
paradigma fakta sosial, paradigma defenisi sosial, dan paradigm perilaku
sosial.
Setiap defenisi paradigma fakt sosial, karena
memusatkan perhatian pada struktur dan pranata (lembaga) kemasyarakatan yang
berskala besar, tidak mengandung teori-teori sosial yang mikro. Teori-teori mikro
sebagian tergolong pada paradigma defenisi sosial, yang tertarik pada bagaimana
pelaku (aktor) mendefenisikan situasi-situasi kemasyarakatan dan bagaimana pula
defenisi ini kemudian membawa efek paa aksi dan interaksi.
Tujuan utama ilmu-ilmu sosial dalam berteori adalah
berupaya mengidentifikasi dan menganalisis realitas (kenyataan) sosial. Oleh
sebagian kalangan “ mikro” diartikan sebagai “mikroskopis” yang merupakan satu
ujung dalam sinambungan (kontinuum) mikroskopis-makroskopis ini dengan suatu
dimensi lain dalam pemikiran sosial, yakni dimensi sinambung
objektif-subjektif.
Dasar pemikiran teori-teori sosial mikro adalah
penekanan pada tindakan (aksi) oleh pelaku (aktor) yang relative bebas dalam
mengekspresikan kehendaknya. Secara umum dapat dikatakan bahwa ancangan mikro
dalam teori-teori sosial merupakan awal yang baik dalam melakukan kegiatan
ilmiah sesungguhnya karena kita dapat berhati-hati dahulu dengan rinci-rinci
factual yang sesungguhnya.
3.
Fenomena
CQ Realitas Sosial sebagai Objek Kajian Ilmu (Sains) Sosial
Dalam banyak perbincangan filsafat dan logika, dan
juga nanti dalam banyak perbincangan disekitar permasalahan sosiokultural, kata
“realitas” seringkali digunakan secara bergantian dengan kata “fakta” dan
bahkan juga dengan kata “fenomena”, tanpa ada niatan untuk terlalu memperbedakan.
Tidak demikian halnya dengan penggunaan kata istilah
‘fenomena’. Fenomena adalah gejala dalam situasi alaminya yang kompleks, yang
hanya mungkin menjadi bagian dari alam kesadaran manusia-sekomprehensif apapun-
ketika sudah direduksi kedalam suatu parameter yang terdefenisikan sebagai
fakta, dan yang demikian terwujud sebagai suatu realitas.
Aliran klasik mengartikan dan mendefenisikan objek
kajian sosial yang disebut “realitas sosial” itu sebagai realitas-realitas
objektif yang teramati didalam indrawi. Ini disebut dengan aliran emperisme.
Aliran emperisme disebut klasik karena perspektif dan cara pendekatan serta
metodelogi aliran ini dianalogikan dari perspektif dan cara pendekatan serta
metodelogi scientific yang semula terpakai untukmengkaji objek-objek anorganik dan
organic yang dilazimkan dalam kerja-kerja ilmu alam kodrat dan ilmu-ilmu
hayati.
4.
Teorisasi
Dalam Penelitian Kualitatif
Terkadang kebiasaan penggunaan teori dalam
penelitian kuantitatif ikut mempengaruhi pendekatan penelitian kualitatif.
Padahal penelitian kualitatif menggunakan pendekatan induktif. Dengan
sesungguhnya, teori sebenarnya ialahalat yang akan diujikemudian dengan data
dan instrument peneliti.
Model deduktif atau deduksi, dimana teori masih
menjadi alat penelitian sejak memilih dan menemukan masalah, membangun
hipotesis maupun melakukan pengamatan di lapangan sampai dengan menguji data.
Model penggunaan teori inilah yang biasa dilakukan pada penelitian deskriptif
kualitatif.
Teori digunakan sebagai awal menjawab pertanyaan
penelitian bahwa sesungguhnya pandangan deduktif menuntun penelitian dengan
terlebih dahulu menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrument
untuk membangun hipotesis sehingga peneliti secara tidak langsung akan
menggunakan teori sebagai “kacamata kuda” nya dalam melihat masalah
penelitiannya.
Keanekargaman masalah menjadikan format penelitian
ini semakin kaya akan model kontruksi yang akan dibangunnya. Dengan demikian
penelitian akan bebas sebebas-bebasnya menentukan model penelitian , model
analisis, model teorisasi, model pembahasan sampai dengan model kontruksi
laporan penelitiannya Karen apeneliti merupakan intrumen penelitian itu sendiri
yang memiliki kebebasan melakukan segalanya.
How to Make Money From Betting Sites That Pay Per Head
BalasHapusIn the betting world, the goal is to earn enough money 샌즈카지노 to earn a living to make a งานออนไลน์ living. But 카지노 the basic process of betting at a betting site has